KETIKA UANG MEMATIKAN KEADILAN
DALAM NOVEL 86 KARYA OKKY MADASARI
Claudia Putri
Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Jakarta
Jika semua kasus dapat terselesaikan
hanya dengan uang, dan yang terbukti bersalah dapat lolos hanya dengan uang,
lantas bagaimana dengan nasib masyarakat yang tidak tahu menahu, terpaksa
terjebak dalam kasus kriminal, lalu tidak memiliki uang dan hanya mengharapkan
sebuah keadilan? Keadilan yang seharusnya dipegang oleh masyarakat, kini
terkalahkan dengan uang, sehingga keadilan dianggap fantasi.
Mendengar istilah 86 atau lapan enam
mungkin tidak asing lagi, sebab 86 merupakan simbol yang digunakan polisi untuk
saling memahami dan siap menerima perintah. Namun, seiringnya waktu kata 86 ini
menjadi sebuah plesetan yang digunakan untuk hal-hal yang negatif, yaitu untuk
saling membantu menggunakan uang atau ‘pelicin’. Hal inilah yang mendasari Okky
Madasari untuk mengangkat cerita dengan tema yang serupa, untuk menuangkan
kegelisahannya. Cerita yang dibuat Okky
sederhana tapi mampu mengangkat isu sosial yang terjadi di masyarakat, Okky sendiri
pernah menggeluti bidang jurnalistik sebagai wartawan selama 3 tahun, alhasil
novel 86 ini ditulis Okky dengan detail, dengan riset yang matang, sehingga
novel ini dapat mudah dipahami oleh pembaca.
Novel 86 bercerita tentang sosok
Arimbi yang merupakan PNS di Pengadilan Jakarta yang berprofesi sebagai juru
ketik. Arimbi adalah anak dari keluarga Petani di desa, pekerjaan Arimbi di
kota menjadikan sebuah kebanggan untuk keluarga Arimbi, sayangnya Arimbi
merasakan kegelisahan dalam pekatnya kota Jakarta, bagaimana dirinya berbeda
dengan teman-temannya di Pengadilan. Arimbi adalah gadis polos, yang hanya
memakai seragam setiap hari, menunggu gaji setiap bulan, lalu akan habis untuk
membiayai kosan, mengirim ke orangtua, dan segala keperluannya di kota. Selama
4 tahun, Arimbi tidak tahu menahu mengenai mengapa temannya sesama juru ketik dapat
membeli mobil dengan mudah, serta sosok atasannya, Bu Danti yang kerap kali
berlibur ke luar kota atau negerti. Semua itu membuat Arimbi terkesan, hingga
ia pun menyadari bahwa yang dilakukan orang selama ini adalah perbuatan yang
tidak tahu malu.
Budaya kasus suap, sogok-menyogok,
atau kasus korupsi masih terasa hangat di berita-berita, lembaga Komisi
Yudisial sebagai pengawas peradilan pun banyak menerima laporan mengenai hakim
yang melanggar etika profesi karena dilaporkan atas dasar dugaan suap, dan
tidak becus dalam beracara. Budaya kasus korupsi juga dituangkan penulis
melalui alur demi alur yang dijelaskan dengan runtut, bagaimana seorang klien yang
meminta kepada pengacara untuk kasusnya cepat selesai diketik agar dapat
melakukan banding, dan pengacara berhubungan langsung dengan Panitera untuk
melakukan negoisasi, kemudian dari Panitera akan melakukan negoisasi pula
dengan Hakim untuk menindaklanjuti hasil persidangan. Semua itu dilakukan
dengan cepat hanya dengan embel-embel istilah lapan enam.
Anisa
tertawa keras. “Mau bilang siapa? Semua orang di sini juga seperti itu. Jadi
tahu sama tahu. yang bego yang nggak pernah dapat. Sudah nggak dapat apa-apa,
semua orang mengira dia dapat.” (Halaman 103)
Dari kutipan diatas, diambil
kesimpulan bahwa budaya kasus suap atau praktik kotor di Persidangan masih
mengakar, sebagian orang pun beranggapan hal tersebut lumrah dan dianggap
sebagai bentuk kewajaran. Itulah yang menjadi korupsi semakin lama semakin
membengkak. Ketidaktahuan Arimbi selama bertahun-tahun bekerja membuat Arimbi
berpikir cerpat, apalagi perkataan demi perkataan orang terdekatnya membuat
Arimbi berani mengubah pola pikirnya. Hingga Arimbi pun terjebak dalam kasus
korupsi bernilai milyaran, dan mendekam dalam Rutan Narapidana.
Okky Madasari dalam novel 86 ini
benar-benar mempersoalkan dalam bidang kriminalitas, dari balik persidangan
hingga ke titik persidangan yang membuat Arimbi mendekam di penjara. Kemirisan
yang terdapat dalam Rutan Narapidana juga dituangkan Okky dalam cerita,
bagaimana Arimbi merasa tidak adil karena terpisah dengan Bu Danti yang di dalam
penjara malah hidup enak, berbanding terbalik dengan Arimbi. Tidak hanya itu,
Okky juga menuangkan praktik kotor lainnya di dalam Rutan, yaitu pembuatan
narkoba pada salah satu narapidana, Cing Aling.
Arimbi
tertawa mendengarnya. Sekarang dia paham dan sudah bisa membayangkan. Dari sel
inilah segala urusan sabu-sabu dikendalikan. Berbagai serbuk obat-obatan yang
jadi bahan didatangkan dari luar. Orang-orang yang dari dulu jadi langganan
Cing Aling belanja bahan mengantar ke penjara. Petugas-petugas yang sudah
mendapat jatah bulanan, membuka pintu lebar-lebar. Kalaupun sesekali ada
pemeriksaan, paling hanya berakhir dengan senyuman, tanpa pernah ada penyitaan.
(Halaman 204)
Dari
kutipan di atas, terlihatlah bahwa pengedar narkoba masih melakukan praktik
kotornya dengan membuat narkoba di balik jeruji besi. Keamaan yang tidak ketat,
dan lagi-lagi karena pelicin membuat petugas hanya sebatas mengamankan
narapidana untuk tidak keluar dari Rutan. Pengedar narkoba malah semakin
diuntungkan, karena narkoba tersebut diedarkan oleh orang-orang yang berada
diluar Rutan, dan ketika ditangkap pun yang tertangkap hanyalah orang yang
berada di luar, sedangkan yang berada di dalam Rutan terus leluasa dalam
pembuatan narkoba. Narkoba sendiri masih marak, dan menjadi kasus yang hangat
pula di berita-berita, masih banyak masyarakat yang terjerat dalam barang haram
tersebut, antara pemakai atau hanya sekedar mengantar barang haram.
“Kamu ini dibilangi kok nggak percaya. Ini sudah perintah resmi. Orang kalau hukumannya sudah habis separuh, bisa bebas lebih dulu. Asal kelakuannya baik, terus bisa dipercaya” (Halaman 216)
“Kita
kan sudah hitung semuanya. Kamu masih punya gaji, masih punya suami. Masih
sama-sama muda. Duit segitu buat bebas cepat ya nggak ada apa-apanya. Ya
terserah, kalau nggak mau. Tunggu saja dua tahun lagi.” (Halaman 217)
Dari kutipan di atas juga
menjelaskan bahwa petugas sipir pun dapat menjalankan aksinya, untuk menawarkan
pembebasan dengan cepat, alih-alih karena hukum, tapi tetap menuntaskan dengan
pelicin.
Kehidupan seorang pengarang memang
tidak pernah lepas pada lingkungan sosial budaya dan bangsa pada hidup
pengarang, sehingga persoalan yang terdapat dalam masyarakat seringkali sebagai
hasil refleksi dari pengetahuan serta pengalaman pengarang. Melalui sudut
pandang Okkylah permasalahan yang ada di Indonesia direpresentasikan dalam
bentuk novel fiksi. Maka, apa yang terjadi di lingkungan sosial ini adalah
sebagai bentuk keadilan yang fantasi. Hukum di Indonesia yang sudah ditentukan
dengan benar, sesuai dengan UU, akan tetapi masih banyak yang menyalahgunakannya
untuk sumber uang dan mata pencaharian sampingan. Ketika mengakhiri novel ini,
Okky masih membebaskan pembaca menentukan nasib tokoh Arimbi, sebagaimana
permasalahan yang terjadi di Indonesia masih terbebaskan dalam menentukan nasib
seseorang. Novel ini pun penuh dengan kritikan sosial yang ada di masyarakat,
dan menimbulkan ironi tersendiri. Pasalnya, ketika keadilan dipatahkan dengan
uang maka jika dibiarkan terus menerus akan menjadi budaya yang merugikan. Okky
tidak hanya membahas korupsi dari segi pengadilan, tapi dari orang-orang diluar
pengadilan masih banyak yang melakukan, aparatur penegak hukum pun salah
satunya, kemudian narkoba yang sampai sekarang masih berusaha diberantas
ternyata berkedoknya pun di dalam Rutan. Buat saya, Okky telah sukses
menyuarakan ketidakadilan tersebut melalui karyanya.